Gunung Kidul-Keraton kerja sama penertiban tanah

id sultan

Gunung Kidul-Keraton kerja sama penertiban tanah

Sri Sultan HB X (Antara/Wahyu Putro)

Gunung Kidul, (Antara Jogja) - Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat menandatangani nota kesepahaman bersama tentang penertiban dan penataan atas tanah kasultanan di wilayah ini.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Gunung Kidul, Selasa, mengatakan selama ini penggunaan tanah kasultanan atau "Sultan Ground" (SG) baik yang dimanfaatkan penduduk dan pemerintah harus mendapatkan surat kekancingan.

"Tanah SG itu berstatus magersari, boleh ditempati namun tetap mengakui tanah tersebut adalah milik Keraton Ngayogyakarta," kata Sultan.

Ada 12 perjanjian Nomor 103/wnk/VI/2016 tentang Penertiban dan Penataan atas SG di wilayah Kabupaten Gunung Kidul.

Nota kesepahaman bersama (MoU) mencakup ruang lingkup, yakni penertiban dan penataan tanah SG di wilayah Gunung Kidul diharapkan diautur melalui perda minimal SK bupati. Kedua, pemberian rekomendasi penggunaan tanah SG oleh KHP panitikisma atas usul pemerintah desa, ketiga memberikan izin pengelolaan SG berupa kekancingan dari KHP panitikisma.

Selanjutnya, penyusunan dokumen penertiban dan pemanfaatan tanah SG oleh Pemda Gunung Kidul melalui pemeintah desa, serta evaluasi dan monitoring kegiatan penertiban dan pentaan oleh Pemkab Gunung Kidul.

Sultan mengatakan MoU ini nantinya akan digunakan sebagai acuan dan dasar penertiban dan penataan kawasan SG menjadi kawasan ruang terbuka publik yang bebas bangunan. Banyaknya bangunan liar, kata Sultan yang berada di area tanah SG atau 100 meter dari garis pantai membuat kawasan wisata di pesisir selatan Gunung Kidul menjadi terlihat kumuh dan tidak tertata.

"Makanya dengan MoU ini masyarakat di pesisir pantai segera melakukan penataan sesuai dengan isi kesepakatan yang telah dibuat," kata dia.

Kerja sama antara kasultanan dan pemkab untuk melakukan penertiban dan penataan. Selain itu, Sultan mengakui tanah SG yang tidak sesuai dengan peruntukannya salah satunya di obyek wisata tertentu sering seringkali terjadi konflik horisontal.

Ngarso dalem berharap dengan kasus ini semuanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil.

"Masalahnya ruang publik yang terbatas juga sarat kepentingan. Ada yang merasa punya hak klaim ruang publik sebagai miliknya, meski tanpa seijin pemilik sahnya. Kemudian terjadinya alih fungsi dan tak dapat diakses oleh publik," paparnya.

Sementara itu, Bupati Gunung Kidul Badingah menambahkan penertiban kawasan pantai selatan Gunung Kidul tetap akan dilakukan melalui pendekatan dengan masyarakat.

"Pemerintah daerah berjanji akan memberikan fasilitas kepada para masyarakat terdampak penertiban sehingga mereka tetap dapat mencari rezeki di kawasan pantai," katanya. ***2***

(KR-STR)

Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024