Akademisi: sistem akreditasi nasional memerlukan komitmen negara

id aptisi

Akademisi: sistem akreditasi nasional memerlukan komitmen negara

Aptisi (antaranews.com)

Yogyakarta, (Antara Jogja) - Sistem akreditasi perguruan tinggi yang bersifat nasional memerlukan komitmen dari negara sehingga akreditasi mendapat pengakuan yang sama oleh semua elemen bangsa, kata dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Edy Suandi Hamid.

"Hal itu diperlukan karena dalam praktik masih banyak yang tidak paham tentang akreditasi tersebut sehingga menempatkannya secara dikotomis antara perguruan tinggi negeri dan swasta," katanya di Yogyakarta, Selasa.

Akibatnya, kata mantan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Nasional (Aptisi) itu, muncul perlakuan yang diskriminatif, tidak adil, menutup akses ke lapangan kerja, dan merugikan banyak pihak termasuk para alumni perguruan tinggi yang ada.

Menurut dia, selama ini sering terjadi persyaratan untuk melamar pekerjaan dengan nilai akreditasi yang berbeda antara PTN dan PTS. PTN sering cukup dengan akreditasi lebih rendah, misalnya B, dan PTS dituntut setingkat lebih tinggi (A).

"Kebijakan itu ternyata dilakukan oleh institusi pemerintah atau badan milik negara. Hal ini jelas bukan hanya menyimpang dari maksud akreditasi tetapi juga menggambarkan ketidaktahuan atau bahkan karena komitmen yang rendah atas kinerja akreditasi," katanya.

Ia mengatakan sebagai suatu standar nasional, maka instrumen/indikator/manusia yang digunakan adalah sama untuk melakukan akreditasi baik di PTN maupun PTS. Dengan demikian, nilai yang diterima oleh PTN atau PTS adalah sama.

"Jadi, tidak bisa dikatakan akreditasi B yang ada di PTN berbeda dengan B yang ada di PTS," kata mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) itu.

Menurut dia, persyaratan akreditasi dengan skor minimal tertentu, misalnya B, untuk melamar pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi sering dilakukan instansi pemerintah, bahkan justru pernah bersumber dari ketentuan yang bersifat nasional untuk lamaran CPNS.

"Akreditasi dikenakan kepada program studi atau institusi. Padahal, kecakapan seseorang tidak merata sama dalam satu program studi atau perguruan tinggi," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi UII itu.

Dengan demikian, kata dia, bisa jadi di antara lulusan sebuah perguruan tinggi atau program studi yang akreditasinya C ada yang lebih pandai dari lulusan dari perguruan tinggi atau program studi yang akreditasinya A atau B.

Ia mengatakan lulusan perguruan tinggi yang akreditasinya A bisa jadi ada yang pas-pasan, sebaliknya sangat mungkin lulusan perguruan tinggi yang akreditasinya C ada yang unggul.

"Namun, peluang lulusan yang unggul itu untuk bekerja tertutup karena sudah ada persyaratan yang mengharuskan minimal nilai akreditasi, misalnya B, untuk bisa melamar pekerjaan," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, sebagai bentuk komitmen pada akreditasi yang bersifat nasional tersebut, tidak boleh terjadi lagi pembedaan persyaratan antara PTN dan PTS. Pembedaan persyaratan mereduksi hasil kinerja dari BAN/LAM, dan seolah ada standar berbeda antara PTN dan PTS.

Selain itu, pemberian batasan syarat minimal akreditasi bisa mengorbankan lulusan yang cemerlang tetapi kuliah di perguruan tinggi yang kelembagaan akreditasinya rendah.

Dengan demikian, agar tidak ada pihak yang dirugikan, persyaratan untuk masuk ke bursa kerja terutama pada lembaga pemerintah tidak perlu ada persyaratan minimal akreditasi.

"Artinya, persyaratan untuk melamar pekerjaan hanya lulus dari perguruan tinggi dan program studi yang terakreditasi. Dengan demikian, mereka yang berasal dari perguruan tinggi atau program studi yang legal dengan akreditasi C berkesempatan untuk melamar pekerjaan," kata Edy.***4***

(B015)

Pewarta :
Editor: Victorianus Sat Pranyoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024