"SVLK" menuju jaminan ekspor kayu legal

id kayu

"SVLK" menuju jaminan ekspor kayu legal

Ilustrasi (Foto Istimewa)

Jogja (Antara Jogja) - Meski bertahun-tahun tertunda, pemerintah tampaknya tetap memiliki keyakinan dapat mewajibkan penerapan sistem verifikasi legalitas kayu bagi seluruh industri kayu berskala besar, menengah, maupun kecil.

Skema sertifikasi wajib yang selanjutnya dikenal sebagai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebenarnya bermula sejak 2009 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

Tujuannya antara lain meningkatkan daya saing produk perkayuan Indonesia, mereduksi praktik "illegal logging" dan "illegal trading" dengan tujuan akhir meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Selain itu, dengan SVLK diharapkan konsumen di luar negeri tidak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Penerapan SVLK sendiri juga sesungguhnya merupakan tuntutan negara-negara tujuan ekspor kayu Indonesia seperti di Uni Eropa, Australia, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, serta Tiongkok. Indonesia tidak dapat mengekspor mebel atau kerajinan kayu tanpa diembel-embeli SVLK.

Namun, usaha untuk mewajibkan SVLK bagi seluruh produsen industri berbahan baku kayu tidak mudah. Penerapan sistem itu berkali-kali mengalami penundaan sejak akan diterapkan untuk pertamakalinya pada 2013. Penundaan kembali terjadi ketika diproyeksikan akan diterapkan pada 2014 dengan kendala yang sama yakni ketidaksiapan pengusaha produk kayu terkait proses maupun biaya pengurusan dan pendampingan yang dinilai terlalu rumit dan mahal.


                               Deklarasi Ekspor

Sebagai upaya memecahkan kebuntuan itu, pada 2015, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014 tanggal 24 Desember 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan untuk menyederhanakan persyaratan SVLK.

Dengan keluarnya aturan baru itu, bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) pemilik Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) mebel atau funiture yang belum mengantongi SVLK tetap dapat mengirim produksi kerajinan ke luar negeri dengan syarat melengkapi dokumen Deklarasi Ekspor (DE).

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Pranata mengatakan IKM yang menggunakan DE untuk mengekspor barang mereka, juga tetap harus berupaya mengurus SVLK yang akan diberlakukan secara penuh pada 2016.

"Deklarasi ini kan berlaku hingga Desember 2015, sedapat mungkin IKM bisa mengurus SVLK sampai tuntas dalam waktu satu tahun ini," kata dia.

 Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan (Asmindo) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan Deklarasi Ekspor yang dicanangkan pemerintah tersebut belum efektif membantu kegiatan ekspor mebel khususnya untuk tujuan Uni Eropa dan Australia.

"Tadinya (Deklarasi Ekspor) kami kira bisa jadi "win-win solution" bagi pengusaha yang belum memiliki SVLK agar tetap bisa ekspor. Ternyata produk kami tetap ditolak di Uni Eropa dan Australia," kata Wakil Ketua Asmindo DIY, Endro Wardoyo.

Endro mengaku setelah para pengusaha mebel dan kerajinan kayu di DIY mengurus DE sesuai arahan pemerintah, produk mereka tetap tidak dapat diterima di 38 negara UE dan Australia, karena di negara tersebut telah memberlakukan persyaratan SVLK secara penuh, tanpa mengenal DE. Padahal sebelumnya DE disosialisasikan dapat diterapkan untuk seluruh negara tujuan ekspor.

"Jelas saat ini kami merasa "kecolongan", tidak bisa ekspor karena sebagian besar tujuan ekspor kami di UE dan Australia," kata dia.

Selain itu, IKM yang telah terlanjur melakukan proses ekspor mebel dan kerajinan harus merugi karena produk mereka ditolak di UE dan Australia, apalagi pembayaran produk mereka rata-rata menggunakan "letter of credit" (L/C).

Endro menyebutkan hingga Januari 2015 baru 20 perusahaan mebel dan kerajinan berbahan baku kayu di DIY yang telah memiliki SVLK dan 10 perusahaan yang telah memiliki ETPIK. Sementara di DIY terdapat kurang lebih 4.000 IKM mebel dan kerajinan.

"Artinya ada ribuan IKM yang tidak dapat melakukan ekspor. Padahal mereka adalah pahlawan yang turut menopang perekonomian negara saat krisis," kata dia.

Oleh karena itu, dia berharap pemerintah dapat segera mencari terobosan agar DE benar-benar dapat diberlakukan di seluruh negara tujuan ekspor, sehingga perusahaan atau IKM yang belum memiliki SVLK selama 2015 tetap dapat melakukan ekspor.

"Entah bagaimana caranya, untuk saat ini agar segera ada solusi, karena sebelumnya dengan adanya DE kami sudah terlanjur senang," kata Endro.


                                     Optimisme

Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Republik Indonesia (Apikri) tidak mempersoalkan pemberlakuan kepemilikan sistem verifikasi legalitas kayu oleh pemerintah bagi eksportir kerajinan kayu.

Direktur Apikri Amir Panzuri mengatakan pemberlakuan SVLK justru sejalan dengan misi Apikri yang sejak lama gencar mengkampanyekan produk kerajinan berbasis bahan baku alam dengan cara pengelolaan yang ramah lingkungan.

"Kami tidak masalah dan justru mendukung penuh karena dibalik pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) ada tujuan baik, bagi keberlanjutan produksi dan pelestarian alam," kata dia.

Dengan pemberlakuan SVLK mulai tahun ini, ia optimistis berbagai unit industri kecil menengah (IKM) yang masuk dalam keanggotaan Apikri tidak akan mengalami kendala ekspor baik untuk tujuan Eropa maupun Australia karena berbagai persiapan sudah dilakukan. Apalagi, ia menilai, sosialisasi yang diberikan pemerintah sejak 2013 sudah cukup memadai.

Dia justru meyakini nilai ekspor kerajinan Apikri pada 2015 dapat meningkat 10 persen dari 2014. "Dari biasanya satu kontainer sebulan, tahun ini kami harap bisa meningkat dua kontainer per bulan," kata dia.

Menurut dia salah satu produk andalan Apikri yang paling diminati negara tujuan ekspor seperti Amerika dan Eropa sampai saat ini adalah produk peti mati dengan bahan serat alam berupa enceng gondok serta pelepah pisang.

Hingga 2015, ia menyebutkan, terdapat 20 IKM dari 470 IKM anggota yang telah masuk dalam skema SVLK kolektif Apikri. "Memang baru 20 IKM anggota kami yang masuk SVLK kolektif, tapi sambil berjalan nanti akan bertambah," kata dia.


                               Bantu Pengurusan SVLK

Sebagai terobosan baru, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) belum lama ini menyepakati program percepatan pengurusan SVLK bagi pelaku industri kecil menengah di daerah setempat.

Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono dalam kesempatan itu mengatakan dengan deklarasi itu pemerintah akan memfasilitasi pembiayaan pengurusan SVLK bagi industri kecil menengah (IKM) serta industri primer dengan kapasitas mencapai 6.000 m3 per tahun secara berkelompok.

"Hal ini kami lakukan dalam rangka mempercepat kepemilikan SVLK bagi IKM. Kami targetka dalam kurun 6 bulan sudah semua bisa memiliki ," kata dia.

Adapun biaya yang akan ditanggung, kata dia, meliputi biaya sertifikasi serta biaya pendampingan untuk mengurus SVLK. Biaya itu akan ditanggung oleh Pemerintah khususnya Kemen-LH, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi, serta Kementerian Perdagangan.

Dengan fasilitas itu, menurut Bambang, Pemerintah berharap agar IKM yang semula telah terbiasa melakukan aktivitas ekspor tidak terhambat dengan pemberlakuan SVLK, sebagai prasyarat ekspor kayu atau produk berbahan baku kayu di pasar internasional.

"Apalagi selama ini dari 6,6 miliar perolehan ekspor mebel, IKM berkontribusi cukup besar mencapai 2 miliar atau 33 persen," kata dia.

Untuk menyukseskan program percepatan itu, dia berharap seluruh dinas di kabupaten/kota yang bersinggungan dengan perizinan SVLK dapat bekerja cepat serta lebi memberikan kemudahan.

"Jangan sampai dinas-dinas di kabupaten/kota cenderung mempersulit," kata dia.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) DIY, Sutarto mengatakan hingga saat ini dari 56 IKM di DIY yang telah memiliki sertifikat Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK), baru 28 unit IKM yang sudah mengurus dan memiliki SVLK. "Oleh sebab itu pemerintah akan mengejar yang setengahnya lagi," kata dia.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan dengan adanya SVLK akan mampu memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh secara legal.

Karena SVLK telah menjadi komitmen dari Pemerintah, menurut dia, Pemerintah Daerah sudah sepatutnya mendukung kebijakan itu.

"Hal ini penting, selain untuk meningkatkan kinerja ekspor juga dalam rangka pemberantasan illegal loging, illegal trading, serta meningkatkan pendapatan masyarakat," kata dia.

(L007)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024