USD bedah kembali film "Sebelum Serangan Fajar"

id film

USD bedah kembali film "Sebelum Serangan Fajar"

Ilustrasi (Foto Istimewa)

Jogja (Antara Jogja) - Program Studi Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat, membedah kembali film "Sebelum Serangan Fajar" dalam rangka memperingati peristiwa bersejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 atau "SO 1 Maret".

Panitia diskusi dan pemutaran film "Sebelum Serangan Fajar", Kevin Rinangga mengatakan kegiatan itu untuk mengingatkan kembali peristiwa "SO 1 Maret" melalui prespektif yang berbeda.

"Karena melalui film `Sebelum Serangan Fajar` (SSF) kita dapat mengetahui prespektif lain bahwa pencetus ide serangan fajar adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX," kata dia.

Menurut dia, film SSF dapat menjadi contoh film dokumenter yang digarap secara serius dengan memberi prespektif lain dalam melihat sebuah peristiwa.

Film SSF merupakan film nonkomersial yang didukung penuh Dinas Kebudayaan DIY. Film ini diproduksi Sanggit Citra Production pada 2014.

Sutradara SSF Triyanto Hapsoro dalam sesi diskusi film itu mengatakan awal tujuan pembuatan film tersebut bukan untuk meluruskan, melainkan untuk melengkapi film-film pendahulunya yang juga memuat peristiwa yang sama seperti film "Enam Djam di Djogdja" karya Usmar Ismail, serta "Janur Kuning".

Dalam film-film sebelumnya, kata Triyanto, ada "scene" film yang terlewatkan, yakni dialog empat mata antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Letkol Soeharto untuk merencanakan serangan itu.

"Kemudian kami mencoba melengkapi dengan mengacu berbagai sumber buku sejarah serta saksi-saksi hidup yang terpercaya termasuk pihak keluarga Keraton Yogyakarta," kata dia.

Dalam film yang diputar dengan durasi 35 menit ini menyiratkan pesan bahwa Sri Sultan HB IX sesungguhnya berperan sebagai pencetus ide serangan umum 1 Maret tersebut.

Visualisasi sejarah melalui film SSF itu membantah narasi sejarah yang muncul di permukaan. "Jadi memang dalam film-film sebelumnya Letkol Soeharto-lah yang menggagas ide serangan tersebut," katanya.

Sementara itu, sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yerry Wirawan mengatakan upaya menyajikan intepretasi ulang sebuah peristiwa sejarah sangat penting dalam studi sejarah. "Studi sejarah yang sehat adalah saat kita bisa mendiskusikan pandangan-pandangan ini," kata dia.

Menurut Yerry, pada masa kini banyak bermunculan film bertema sejarah, namun sayangnya masih sedikit yang berani mengkritisi narasi sebelumnya, dengan menyajikan narasi alternatif.

"Menurut saya, film `Sebelum Serangan Fajar` telah memngisi kekosongan itu, sehingga justru memperkaya sejarah," katanya.

(L007)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024