Dilema gula Indonesia

id gula

Dilema gula Indonesia

ilustrasi gula (antaranews.com)

Yogyakarta  10/12 (Antara Jogja) - Masalah pergulaan di Tanah Air tidak pernah berakhir. Persoalannya kompleks, dan dilematis. Di satu sisi harga gula lokal masih tertekan dan sulit naik akibat melimpahnya stok, ditambah rembesan gula rafinasi yang dijual di pasar bebas, di sisi lain kuota gula impor yang melebihi pasokan jumlahnya sangat banyak.

Harga gula lokal diprediksi pada 2015 masih tertekan, dan sulit naik, karena melimpahnya stok hasil giling tebu, dan pengaruh rembesan gula rafinasi yang dijual ke pasar bebas sebagai gula konsumsi.

Harga pokok pembelian (HPP) gula saat ini Rp8.500 per kilogram (kg), namun karena banyaknya pasokan gula impor untuk kebutuhan nasional, maka harga gula lokal jatuh menjadi Rp7.700 per kg

Sementara itu, kuota gula impor yang melebihi pasokan di pasaran yang seharusnya sebanyak 2,7 juta ton menjadi 6,3 juta ton, juga menyebabkan jatuhnya harga gula lokal.

Pemerintah berdalih kelebihan impor gula tersebut terjadi sebagai antisipasi stabilitas politik pada saat pemilu legislatif dan pemilu presiden, beberapa waktu lalu.

Ketua Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono kepada wartawan di Surabaya, pekan lalu, mengatakan stok gula lokal hingga akhir 2014 diperkirakan masih 1,5 juta ton, dari total produksi sekitar 2,4 juta ton.

"Dengan konsumsi nasional rata-rata 200.000 ton per bulan, hingga musim giling 2015 di beberapa pabrik gula yang dimulai sekitar bulan Mei, sisa stok hasil giling 2014 masih sangat besar," katanya.

Menurut dia, melimpahnya stok gula mengakibatkan harganya menurun, bahkan harga penawaran dalam beberapa lelang di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah Rp8.500 per kilogram.

Harga yang rendah itu menyebabkan banyak pabrik gula dan petani tebu tidak berani melepas stok saat dilakukan lelang, karena dipastikan mereka rugi.

"Dengan kondisi yang ada sekarang, saya prediksi hampir semua perusahaan gula mengalami kerugian, karena ongkos produksi dengan harga jual gula tidak seimbang. Petani juga kelimpungan," kata Subiyono yang juga Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X (Persero), perusahaan pengelola 11 pabrik gula di Jawa Timur.

Khusus di PTPN X, Subiyono mengungkapkan stok gula di gudang yang belum terjual hingga akhir tahun ini diperkirakan masih 160.000 ton. Sedangkan total produksi gula salah satu BUMN sektor perkebunan itu pada 2014 sebanyak 470.000 ton.

"Tahun ini kami tidak merugi, karena sebelumnya sudah melakukan berbagai langkah efisiensi pada kegiatan produksi. Tapi, keuntungan yang diperoleh juga sangat tipis," ujar dia, tanpa merinci proyeksi keuntungan yang dicapai.

Sementara itu, kasus merembesnya gula rafinasi yang dijual ke pasar bebas sebagai gula konsumsi, menurut Subiyono menjadi masalah klasik yang hingga kini perlu mendapat ketegasan dari pemerintah.

Sesuai peruntukannya, gula rafinasi seharusnya untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman. Tetapi, di beberapa daerah, terutama di luar Jawa, gula rafinasi justru beredar secara bebas di pasar dan dikonsumsi masyarakat.

"Kenyataan yang terjadi selama ini, gula produksi dari Pulau Jawa yang jumlahnya melimpah justru sulit masuk ke luar Jawa. Akhirnya, selera konsumen ikut berubah dengan membeli gula rafinasi yang tampilannya lebih bagus, dan harganya murah," kata Subiyono.

Terkait gula rafinasi, Kementerian Perdagangan berencana memperbaiki tata niaga gula rafinasi dengan melakukan revisi Surat Menteri Perdagangan kepada produsen gula rafinasi Nomor 111/M-DAG/2/2009 tentang Petunjuk Pendistribusian Gula Rafinasi.

Sekretaris Jenderal Kemendag Gunaryo menjelaskan revisi perbaikan surat itu diharapkan bisa memastikan bahwa gula rafinasi yang didistribusikan oleh distributor bisa mengalir tepat sasaran ke industri kecil menengah (IKM) pengguna gula jenis ini. "Nantinya, itu untuk memastikan bahwa gula rafinasi diserap industri makanan dan minuman. Namun, sementara ini masih belum boleh melalui distributor," kata Gunaryo.

Kuota impor gula mentah pada 2014 sekitar tiga juta ton, namun harus dikurangi sebanyak 191.000 ton yang merupakan bentuk sanksi dari Kemendag akibat adanya perembesan gula rafinasi ke pasar konsumen, sehingga sisa kuota sekitar 2,8 juta ton.

Ia menyebutkan hingga semester pertama tahun ini realisasi impor gula mentah sudah mencapai lebih dari 2,1 juta ton, sementara untuk semester kedua menyisakan 635.000 ton.



Proteksi Harga Gula

Sementara itu, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mendesak pemerintah segera memproteksi harga gula agar sesuai dengan harga pokok pembelian (HPP). "HPP gula saat ini Rp8.500 per kg, namun karena banyaknya pasokan kuota gula impor untuk kebutuhan nasional, maka harga gula jatuh menjadi Rp7.700 per kg," kata Ketua APTRI Achmad Mawardi di Pasuruan, akhir pekan lalu.

Kondisi tersebut ia sampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla saat berkunjung ke Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Jawa Timur pada 6 Desember lalu. "Kami menyampaikan kondisi petani tebu yang sebenarnya pada saat kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla, agar pemerintah bisa mengambil tindakan menyelamatkan para petani tebu," katanya.

Menurut Achmad Mawardi, tidak adanya proteksi harga dari pemerintah bisa mengancam kesinambungan para petani tebu, sehingga dapat mengakibatkan kondisi mereka semakin terpuruk. "Tidak adanya proteksi harga gula dari pemerintah, bisa membuat kami semakin terpuruk, karena pada masa produksi, petani sudah kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi," katanya.

Sebelumnya, saat Wakil Presiden Jusuf Kalla meninjau Pabrik Gula PT Rajawali II Subang milik PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) di Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat, 4 Desember lalu, berjanji memberikan insentif kepada pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta membatasi ruang gerak pabrik gula rafinasi.

Kunjungan tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam mengupayakan terwujudnya swasembada gula nasional.

Jusuf Kalla mempertanyakan mengenai pentingnya perbaikan varietas tanaman tebu, perbaikan kondisi dan mesin-mesin pabrik, kapasitas produksi hingga tingkat rendemen gula yang dihasilkan. "Perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh, sehingga tingkat produksi pabrik gula lebih maksimal dengan kualitas terjamin. Kalau jumlahnya sudah meningkat, kualitas bagus, maka tidak ada lagi alasan untuk impor gula," tandasnya.

Pada kesempatan itu, Jusuf Kalla langsung memerintahkan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang ikut dalam rombongan, untuk memerhatikan berbagai kendala yang dihadapi pabrik gula milik BUMN. "Pak Rahmat, anda harus memberikan insentif kepada pabrik gula sesuai dengan peningkatan rendemennya. Itu kita lihat saja nanti seperti apa," ujar Wapres.

Sementara itu, Direktur Utama Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro mengatakan sesungguhnya perseroan tidak membutuhkan bantuan APBN untuk mengembangkan 10 pabrik gula milik perusahaan tersebut. "Yang kami butuhkan adalah regulasi yang berpihak kepada RNI," ujarnya.

Jika swasta diberi izin impor rafinasi, maka seharusnya RNI juga mendapatkannya, karena sesuai Peraturan Menteri bahwa izin impor hanya diberikan kepada BUMN yang memiliki ladang tebu. "Ini tidak adil. RNI punya lahan dan pabrik gula bekerja sama dengan petani tebu, tidak diberi izin impor. Sementara pengusaha hanya mendirikan pabrik, langsung mendapat izin," kata Ismed.

Ia mengeluhkan, akibat bocornya gula rafinasi impor ke pasar-pasar tradisional, belakangan ini, telah menyebabkan total kerugian pabrik gula RNI sekitar Rp1,5 triliun.

Menurut Ismed, RNI sesungguhnya sangat mendukung pemerintah mewujudkan swasembada gula, sejalan dengan masuknya perusahaan ke industri hilir. "Namun, jika pemerintah masih tetap ambigu dalam mengeluarkan regulasi gula rafinasi, jangan harap swasembada dapat tercapai," tandas Ismed Hasan Putro.



Diversifikasi Produk

Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mendorong perusahaan "pelat merah" bidang pergulaan untuk melakukan diversifikasi produk dalam upaya mewujudkan swasembada gula, serta meningkatkan kesejahteraan petani tebu.

Saat melakukan kunjungan kerja ke Pabrik Gula Gempolkrep milik PT Perkebunan Nusantara X (Persero) di Mojokerto, Jawa Timur, 2 Desember lalu, Rini Soemarno mengatakan BUMN pergulaan jangan hanya fokus pada produksi gula, tetapi juga produk turunan tebu lainnya, seperti bioetanol, listrik berbasis ampas tebu, dan pupuk.

"Dengan demikian, petani bisa juga menikmati nilai tambah. Selama ini, petani hanya mendapatkan penghasilan dari bagi hasil gula, dan penjualan tetes tebu," katanya.

Namun, dengan adanya pabrik yang terintegrasi dengan produksi produk turunan tebu non-gula, menurut dia, petani juga bisa mendapatkan tambahan pendapatan. "Fokus kita sekarang adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani," tandas Rini.

Kunjungan kerja Menteri BUMN ke PG Gempolkrep itu, bertujuan mengumpulkan informasi yang komprehensif tentang pabrik gula, seiring lesunya industri gula dalam beberapa tahun terakhir.

Rini Soemarno mengatakan program swasembada gula harus diwujudkan, karena gula merupakan satu dari beberapa komoditas pangan yang ditargetkan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk bisa mencapai swasembada dalam 3-5 tahun mendatang. Komoditas pangan lainnya adalah beras, kedelai, jagung, dan daging.

"Saat ini pemerintah terus mencari jalan bagaimana kesejahteraan petani tebu bisa terangkat. Petani bisa mendapatkan nilai tambah, bukan hanya dari gula, tetapi juga dari berbagai produk turunan komoditas tebu," ujar dia.

Dalam kesempatan itu, Menteri BUMN berkeliling meninjau kondisi PG Gempolkrep yang kini sudah terintegrasi dengan pabrik bioetanol milik anak usaha PTPN X, yaitu PT Energi Agro Nusantara. "Pabrik Gula Gempolkrep bisa dijadikan contoh, karena sudah terintegrasi dengan pabrik bioetanol. Ini bagian dari diversifikasi bisnis," katanya.

Rini mengakui bahwa mayoritas pabrik gula saat ini usianya sudah ratusan tahun, dan menggunakan teknologi lama yang tidak efisien. Selain itu, sebagian besar pabrik gula juga belum mampu melakukan diversifikasi bisnis non-gula.

Menurut dia, diperlukan upaya revitalisasi agar pabrik gula menjadi efisien dan terintegrasi dengan produksi produk turunan tebu non-gula. "Revitalisasi memang membutuhkan investasi. Asal jelas tujuan pembangunan dan progres-nya, investasi bisa saja dilakukan, seperti halnya PTPN X yang berani berinvestasi di pabrik bioetanol. Tentu investasi seperti ini ada perhitungannya," katanya.

Direktur Utama PTPN X Subiyono mengemukakan untuk menciptakan pabrik gula yang siap menghadapi tantangan, pihaknya sudah melakukan persiapan dan perubahan sejak 2008, dengan total investasi sebesar Rp2,7 triliun selama periode 2008-2014. "Kami sangat menyadari dengan teknologi bertekanan rendah, pabrik kami tidak akan bisa efisien, sehingga kami memutuskan untuk melakukan revitalisasi, dan mengubah teknologi yang ada ke teknologi bertekanan tinggi," ujarnya.

Selain lebih efisien, menurut dia, melalui program revitalisasi itu menjadikan PTPN X juga mempunyai potensi untuk mengembangkan diversifikasi bisnis, seperti bietanol dan "co-generation" untuk memproduksi listrik.

M008
Pewarta :
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024