Menyimak sidang dua kasus pelanggaran UU ITE

id menyimak sidang dua kasus

Menyimak sidang dua kasus pelanggaran UU ITE

Ilustrasi (Foto Istimewa)

Jogja (Antara Jogja) - Dua kasus pelanggaran Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang terjadi di Yogyakarta mulai disidangkan.

Kasus dengan terdakwa Ervani Emihandayani disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul, Selasa (11/11). Sedangkan kasus dengan terdakwa Florence Sihombing di Pengadilan Negeri Yogyakarta pada Rabu (12/11).

Sidang perdana dengan terdakwa Ervani Emihandayani di PN Bantul agendanya pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Bantul F Dani Prakuso. Sidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Sulistyo M Dwi Putro, dengan dua anggota Zainal Arifin dan Boyke BS Napitupulu.

Ervani Emahandayani didakwa dengan tuduhan pasal 27 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang dikaitkan dengan pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghinaan atau menista dan menyerang kehormatan serta mencemarkan nama baik seseorang.

Majelis hakim meminta kedua pihak menyiapkan saksi-saksi terkait kasus pelanggaran UU ITE yang dapat menguatkan masing-masing pihak, sehingga jika diminta hakim, bisa langsung dihadirkan dalam persidangan.

"Kami minta dari tim penasihat dan jaksa sudah menyiapkan saksi-saksi dari sekarang, agar dapat dihadirkan dalam persidangan, supaya perkara ini tidak berlarut-larut," ucapnya.

Kasus tersebut bermula saat suami Ervani, Alfa Janto yang bekerja di salah satu perusahaan di Yogyakarta akan dipindahtugaskan ke Cirebon, Jawa Barat. Alfa Janto yang merasa tidak ada dalam perjanjian kontrak kerja maka ia menyatakan keberatan dengan keputusan manajemen itu.

Penolakan tersebut berujung pemecatan terhadap Alfa Janto. Ervani yang merasa suaminya tidak diperlakukan dengan adil, ia kemudian mengeluh di media sosial "facebook". Dalam statusnya di "facebook" Ervani menyebut nama salah satu karyawati yang dianggap berperan dalam proses pemecatan suaminya.

Terkait dengan kasus Ervani itu, di luar gedung PN Bantul ratusan warga yang tergabung dalam Forum Solidaritas Korban Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mendatangi Pengadilan Negeri Bantul menuntut pembebasan Ervani Emihandayani.

Salah satu orator dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Miftah Mujahid dalam unjuk rasa itu mengatakan status "facebook" Ervani jauh dari menyerang nama baik seseorang, sehingga pihaknya menuntut agar perempuan tersebut segera dibebaskan.

"Tetangga kita, kerabat kita sedang terjerat UU ITE, padahal tulisannya jauh dari menyerang nama baik seseorang. Oleh karena itu, kami menuntut Ervani segera dibebaskan," kata Miftah dalam orasinya.

Menurut dia, tidak semua orang yang masuk penjara dinyatakan bersalah. Karena itu, LBH bersama forum solidaritas korban UU ITE akan terus mendukung pengadilan bisa bersikap netral dalam menangani kasus ini.

Koordinator aksi dari LBH Yogyakarta Mahendra mengatakan pihaknya menyoroti kasus Ervani yang dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE yang juga dikaitkan dengan pasal 310 dan 311 KUHP yakni penghinaan dan menyerang serta pencemaran nama baik.

"Ervani tidak mengkritik penguasa, juga bukan aktivis, melainkan hanya ibu rumah tangga biasa, sehingga sepertinya berlebihan jika melihat Ervani yang berurusan dengan pidana seperti ini," ujarnya.

Menurut dia, kasus pelaporan terhadap Ervani membuktikan bahwa UU ITE bisa menjerat siapa saja, baik aktivis atau bukan, dan hal ini tidak cocok dengan alam demokrasi, sehingga masyarakat seharusnya lebih terbuka, dan lebih bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat.

"Masyarakat juga tidak perlu terpancing dengan pernyataan seseorang yang dinilai berbeda, pendekatan penyelesaian seperti ini dengan menggunaan UU ITE sangat berlebihan, dan bertentangan dengan nilai-nilai HAM," tukasnya.



            Sidang Kasus Florence

Pengadilan Negeri Yogyakarta menggelar sidang perdana kasus penghinaan terhadap warga Yogyakarta melalui media sosial dengan terdakwa Florence Sihombing, Rabu (12/11).

Sidang perdana kasus mahasiswi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, agendanya pembacaan dakwaan. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Bambang Sukanta. Florence (25) pada sidang ini tidak didampingi penasihat hukum.

Jaksa Penuntut Umum R Rahayu dalam surat dakwaan yang dibacakannya menyebutkan perbuatan Florence telah terbukti melanggar pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dakwaan tersebut, kata dia, didasarkan pada pernyataan yang ditulis oleh Florence yang berbunyi "Jogja miskin, tolol, tidak berbudaya, teman-teman Bandung, Jakarta jangan mau tinggal di Jogja".

Kalimat tersebut, menurut jaksa, jelas menyebut nama kota dalam suatu wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang identik dengan suku Jawa Yogyakarta.

Dari kalimat itu, timbul penilaian adanya penyebaran informasi rasa kebencian terhadap Yogyakarta, dan diikuti imbauan agar tidak tinggal di Yogyakarta. "Hal itu menimbulkan reaksi spontan, baik secara pribadi, maupun warga suku Jawa secara umum," tegasnya.

Sementara itu, menanggapi dakwaan tersebut, Florence meminta majelis hakim memberi kesempatan kepada dirinya mencari penasihat hukum terlebih dahulu. Ia meminta waktu dua pekan, namun majelis hakim hanya memberi waktu penundaan sepekan.

Sidang tersebut selanjutnya ditunda hingga Rabu (19/11) mendatang, dengan agenda pembacaan eksepsi dari terdakwa atas dakwaan jaksa penuntut umum.

Florence tidak ditahan, namun ketua majelis hakim mengingatkan agar Florence tidak menyalahgunakan kelonggaran yang diberikan. "Anda tidak ditahan. Tapi kami meminta jangan disalahgunakan, jangan sampai tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang jelas, karena akan menimbulkan konsekuensi yuridis di kemudian hari," kata ketua majelis hakim.

Florence dilaporkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Yogyakarta, setelah statusnya di media sosial Path dinilai menghina warga Yogyakarta.

Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Kenotariatan UGM ini sebelumnya sempat ditahan di Ditreskrimsus Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta selama dua hari. Polda DIY kemudian mengabulkan permohonan penangguhan penahanan Florence.

Kasus Florence Sihombing bermula pada 27 Agustus 2014 ketika dirinya bermaksud membeli bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Lempuyangan, Yogyakarta.

Florence yang mengendarai sepeda motor mengambil posisi di antrean mobil, bukan di jalur sepeda motor. Ia diperingatkan aparat TNI yang sedang bertugas, dan kemudian petugas SPBU tidak melayani Florence yang akan membeli BBM.

Florence kemudian mengungkapkan kekesalannya di media sosial Path, dengan kata-kata yang mengandung unsur penghinaan serta pencemaran nama baik warga Yogyakarta.

Setelah permohonan penangguhan penahanan dikabulkan Polda DIY, Florence Sihombing langsung menyampaikan permohonan maaf kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan masyarakat Yogyakarta serta UGM. "Saya memohon maaf kepada Sultan, kepada masyarakat Yogyakarta yang berbesar hati untuk memaafkan saya," ucap Florence.

Ia juga mengucapkan terima kasih kepada UGM Yogyakarta yang telah membantu dalam penanangguhan penahanan. "Saya berharap masyarakat mau mengerti, memahami, dan berbesar hati memaafkan saya," katanya.

Pihak yang mewakili Sekretariat Komite Etik Fakultas Hukum UGM Heribertus Jaka Triyana juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Yogyakarta atas kasus yang dialami mahasiswinya itu.

"Atas nama fakultas, atas nama instansi, kami mohon maaf kepada seluruh warga Yogyakarta, mohon maaf kepada Sultan, dan civitas akademis Universitas Gadjah Mada," tukasnya.

Ia mengatakan pihaknya akan membantu Florence dalam menyelesaikan kasus ini. "Kita akan ikuti proses hukum yang sedang berjalan. Kami ucapkan terima kasih kepada Kapolda DIY yang memberikan izin penangguhan penahanan," katanya.



            Skorsing Satu Semester

Sementara itu, Komite Etik Fakultas Hukum Universutas Gadjah Mada (UGM) pada 8 September lalu menjatuhkan sanksi skorsing satu semester kepada Florence Sihombing, pemilik akun Path yang menulis status mencela Yogyakarta. "Florence dijatuhi sanksi skorsing satu semester," kata Dekan Fakultas Hukum UGM Paripurna.

Ia mengatakan sanksi tersebut dibacakan langsung di depan Florence dan kedua orangtuanya pada sidang kode etik, Senin, 8 September 2014. "Florence tidak mengajukan keberatan atas sanksi itu," ujar Paripurna.

Komite Etik Fakultas Hukum UGM menyatakan telah terjadi pelanggaran etik kategori sedang, terkait dengan apa yang dilakukan Florence.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas UGM Wiwit Wijayanti berharap sanksi tersebut bisa memberi waktu kepada Florence untuk belajar menata diri, dan bersikap lebih baik sesuai etika. "Jika Flo mau bekerja keras, dia masih dapat lulus tepat waktu," ujar Wiwit.

(M008)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024