Profesionalisme optimasi pembangunan kepariwisataan

id profesionalisme optimasi pembangunan

Profesionalisme optimasi pembangunan kepariwisataan

Ricky Avenzora (Foto Istimewa)

Meskipun saat ini menteri pariwisata dari Kabinet Kerja pasti sedang sibuk "mengeringkan badan" dari berbagai "guyuran tudingan negatif" yang sedang menerpa dirinya, namun barangkali Arief Yahya tentu tetap punya waktu untuk mendengar "suara rakyat" tentang  mimpi indah kepariwisataan yang selama ini tak kunjung menjadi kenyataan.

Sebagai mantan CEO PT Telkom, kemampuan dan kapasitas serta kepiawaian yang dimiliki Arief Yahya tentunya tidak patut diragukan oleh siapapun, namun demikian untuk  terwujudnya efektifitas kinerja dari Kabinet Kerja maka barangkali tidak ada salahnya jika ada anak bangsa yang bermaksud untuk berbagi mimpi kepariwisataan dengan dia.

Jika dalam konteks sebagai CEO PT Telkom, dulunya Arif Yahya telah teruji kemampuannya untuk mengelola hampir Rp128 triliun aset PT Telkom, maka dalam konteks sebagai Menteri Pariwisata dari Kabinet Kerja maka kemampuannya akan diuji oleh lebih dari Rp130 juta triliun aset kepariwisataan nasional yang dimiliki oleh negara, (baru dihitung dengan pendekatan nilai NJOP berbagai tapak objek wisata milik negara saja dan belum dihitung nilai aset  yang dimiliki swasta dan komunitas lokal).  
     
Demikian pula halnya dengan kultur dan atmosfir bekerja yang pasti akan sangat berbeda antara di PT Telkom dengan di Kementerian Pariwisata.

Jika sebagai CEO sebuah perusahaan swasta Arief Yahya bisa bertindak dan berlaku ibarat seperti "dewa" yang setiap detik bisa memecat anak buahnya, maka dalam birokrasi pegawai negeri sipil Arief Yahya tentunya harus bisa lebih banyak bersabar dan mengayomi.

        

         "Mimpi Indah" Kepariwisataan Indonesia  

"Mimpi indah kepariwisataan Indonesia sesungguhnya telah dimulai oleh Bung Karno sejak tahun 1959, yaitu sejalan dengan dikeluarkannya Keppres tentang Tata Ruang Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur).

Sedangkan Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1969 juga telah mencanangkan Bali, Toba, Bunaken, Borobudur dan Toraja sebagai Destinasi Tujuan Wisata (DTW).

Atas hal itu, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya usia pembangunan kepariwisataan kita tidaklah tergolong baru "akil balig" lagi.

Dengan masa pembangunan yang sudah lebih dari 50 tahun tersebut, yang sejak Repelita I sudah diimpikan sebagai penghasil devisa no. 3 (setelah minyak dan gas) bagi negara, mestinya  kinerja kepariwisataan Indonesia sudah dapat memberikan kemakmuran pada rakyat negeri ini,  namun kenyataannya pada tahun 2013 lalu isu tentang neraca kepariwisataan Indonesia yang berposisi minus hingga lebih dari 20 persen sulit dibantah.

Dalam persepektif tertentu Bali dapat dikatakan masih menjadi "icon" terpenting bagi Indonesia, sedangkan dalam perspektif lain barangkali tidak salah pula jika ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya Bali telah "over exposed" dan kelelahan, serta sedang menggali lubang kuburnya sendiri.

Sedangkan empat DTW lainnya barangkali masih tergolong dalam posisi "mati segan hidup tak mau"; baik karena telah "diabaikan" selama puluhan tahun ataupun karena terlalu sering menjadi "korban" pembangunan yang bersifat "trial and error" ataupun karena hanya menjadi objek dari suatu  "pembangunan basa-basi" yang tidak masuk dalam skala ekonomi.

Sejak beberapa tahun lalu Malaysia telah mengklaim mendapatkan lebih dari 24 juta wisatawan asing, dan telah berani pula menyatakan diri sebagai "TheTruly Asia", sedangkan negara kita hanya berkutat pada angka 7-8 juta saja dan masih bermain pada jargon-jargon promosi "wonderful Indonesia" ataupun "beautiful Indonesia" saja.

Kepariwisataan Indonesia bukan hanya belum bisa menjadi sumber kemakmuran bagi rakyat negeri ini, serta bukan pula hanya telah kehilangan "actual demand", melainkan juga telah kehilangan kepercayaan diri untuk menjaga eksistensi dan mengeskpresikan eksistensi itu sendiri.

Bahkan, sejalan dengan diberlakukannya aturan PMA (penanaman modal asing) yang mengizinkan bangsa lain mengusai lahan usaha (HGU) di negeri ini hingga 90 tahun serta diberlakukannya aturan penguasaan modal asing bisa mencapai 91 persen, maka bukan tidak mungkin suatu hari mendatang sektor kepariwisataan akan menjadi sumber utama untuk terciptanya dengan cepat koloni-koloni benih penjajahan  seperi zaman VOC dulu.

    
          Potensi Kepariwisataan Indonesia

Tentu kita tidak perlu terlalu bersusah payah untuk membayangkan betapa besarnya potensi pariwisata yang dimiliki oleh negeri kita ini. Negeri ini memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan 400-an suku yang mendiaminya.

Dalam konteks wisata alam, bayangkan berapa luas lautan (dan berapa luas "kolam air" nya) yang bisa diarungi oleh para "yachters" serta "divers" dunia, begitu juga berapa ribu kilometer panjang pantainya yang bisa menjadi tempat terselenggaranya berbagai kegiatan "coastal tourism" di berbagai pulau yang ada.

Sejak 1980 Departemen Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK) telah pula "menyelamatkan" hutan alam tropika kita melalui penetapan 50 taman nasional dan ratusan kawasan konservasi lainnya, begitu pula dengan lebih dari 200 kawasan wana wisata yang telah dikelola oleh PT Perhutani sejak puluhan tahun lalu.

Sejak masa Orde Reformasi, berbagai Taman Hutan Raya (Tahura) juga telah terus dibangun di berbagai provinsi yang ada.

Selain keindahan panorama yang dimiliki berbagai tapak wisata tersebut, maka bayangkanlah pula berapa  harga jasa lingkungan dari berbagai jenis ekosistem yang mengandung ratusan hingga ribuan jenis flora dan fauna endemik dalam areal tersebut, belum lagi ratusan jenis ikan hias yang ada di lautan kita.

Jika saja setiap suku di Tanah Air kita ini masing-masing memiliki lima jenis atraksi budaya,lima  jenis "material heritage" dan lima  jenis makanan saja --realitasnya pasti jauh lebih banyak dari lima-- maka tentunya negeri kita ini secara total setidaknya mempunyai lebih dari 6000 atraksi wisata budaya yang bisa ditawarkan pada wisatawan dunia.

Jika satu hari butuh mempromosikan satu budaya saja, maka secara potensial bisa dikatakan kita mempunyai promotion material yang lebih dari cukup untuk selama 20 tahun, bukan?  
      
Atas hal itu, mengapa pula saat ini malah budaya kontemporer yang menjadi marak meracuni pemikiranserta jiwa generasi muda kita?
     
Bersamaan dengan ratusan gunung berapi dan ratusan sungai yang ada di negeri ini, maka ratusan pula lah jenis traditional "martial art" yang tersimpan pada anak negeri penjaga gunung dan sungai tersebut.

Sebegitu banyaknya pulalah sesungguhnya keahlian pengobatan tradisional yang mereka kuasai, lengkap dengan berbagai ramuan obat tradisional yang mereka pelajari turun temurun dari nenek moyang mereka.

Bahkan, setiap kepala keluarga dari masyarakat dayak yang tinggal di sepanjang Pegunungan Muller Kalimantan pasti memiliki tiga jenis ramuan obat tradisional yang secara rahasia mereka miliki sebagai salah satu kekuatan dasar eksistensi setiapkepala keluarga.

Jika kita petakan semua potensi sumber daya kepariwisataan yang kita miliki, maka secara objektif semua potensi yang ada adalah berada dalam kondisi "golden values", baik jumlahnya, jenisnya, keindahannya, keunikannya, kelangkaannya, sebarannya dan pasarnya.

Tunjuklah potensi mana saja yang akan kita pilih, maka dipastikan potensi sumber daya wisata itu memiliki populasi "potential demand"-nya yang relatif cukup besar dan bisa mengakses sumber daya tersebut dalam waktu paling lama tiga jam saja.

Jika pun selama ini "potential market" tersebut belum terwujud seutuhnya menjadi "actual market" secara optimal, maka itu adalah lebih disebabkan oleh dua hal saja, yaitu: karena masih rendahnya alokasi "disposible income" untuk berekreasi dan wisata di tengah masyarakat kita secara nasional, dan karena masalah infrastruktur dan fasiltas dasar.

    
       Penyebab Mandul Kinerja Kepariwisataan

Di antara sekian banyak penyebab mandulnya kinerja kepariwisataan selama ini, barangkali ada dua masalah penting yang perlu kita soroti, yaitu: (1) Kompetensi SDM, serta (2). Politik dan Kebijakan.

Dampak kedua masalah tersebut bersifat resiprokal dan menyebabkan terjadinya efek domino.

Rendahnya kompetensi SDM kepariwisataan Indonesia berakar pada tidak lengkap serta buruknya sistem pendidikan kepariwisataan selama ini.

Setidaknya hampir selama 20 tahun sejak NHI berdiri di Bandung pada tahun 1956 pendidikan kepariwisataan di Indonesia hanya meliputi pendidikan vokasional dengan jenjang diploma tiga (D3).  Itu pun hanya fokus pada dua aspek kepariwisataan saja, yaitu "accomodation management" dan "travel management".

Kelompok ilmu manajemen akomodasi cenderung fokus pada perhotelan dan restoran, sedangkan kelompok ilmu manajemen perjalanan fokus pada "ticketing" dan "tour operating".

Jikapun pada awal hingga pertengahan tahun 70 telah mulai berdiri beberapa Sekolah Tinggi Pariwisata, namun fokus keilmuannya hanya bertambah dengan kelompok ilmu ekonomi pariwisata saja.

Meskipun di Jurusan Planologi ITB juga telah membicarakan kepariwisataan, namun hanya dalam bentuk satu atau dua mata kuliah saja.

Demikian pula halnya dengan IPB yang memulai langkahnya dengan mempelajari pariwisata sebagai ilmu wilayah, dengan fokus pada wilayah sektor kehutanan.

Meskipun dalam 10-15  tahun terakhir ini sudah semakin banyak institusi pendidikan tinggi yang memberi perhatian pada keilmuan pariwisata, mulai dari ketrampilan vokasi D3 hingga sains dan teknologi jenjang S1 sampai S3,  namun  nampaknya sebagian besar perguruan tinggi masih gamang untuk mengambil "scientific niche" atau relung ilmu pengetahuan kepariwisataan yang akan dikembangkannya, kecuali IPB yang tetap fokus mengembangkan ilmu pariwisata sebagai ilmu pembangunan wilayah dengan memperluas aspek  wilayah sektor kehutanan menjadi ekowisata dan pariwisata berkelanjutan.

Di IPB, kemampuan mahasiswa tingkat vokasi dibangun dengan pendekatan "leisure science", di tingkat S1 diberi kemampuan ilmu pengetahuan pembangunan ekowisata pada kawasan konservasi, sedangkan pada tingkat S2 dan S3 mahasiswa mereka diberi kemampuan pembangunan ekowisata pada tingkat wilayah dan nasional.

Atas situasi itu, maka dapat dikatakan bahwa terdapat "kelangkaan" relung dan kedalaman komprehensifitas  kompetensi SDM kepariwisataan.

Hal ini bukan hanya menyebabkan dipertanyakannya buah-buah fikir yang mereka hasilkan selama ini melainkan juga menjadi penyebab utama timbulnya konflik arogansi keilmuan dan/atau timbulnya apa yang oleh masyarakat di Indonesia Bagian Timur disebut sebagai "Akademisi/Intelektual Rheumason", yaitu para kaum terdidik bergelar profesor/doktor yang kehilangan marwah mereka karena telah "mengobral" gelar akademisnya untuk ikut secara dominan dalam berbagai proyek pembangunan yang sebenarnya tidak dia kuasai.

Pada tingkat nasional, dampak negatif dari kelangkaan kompetensi SDM tersebut telah mencapai puncaknya dengan (maaf) buruknya isi UU No. 10 tahun 2009 tentang Pariwisata dan PP No. 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional.

Bahasa hukum dalam UU No. 10 tidak saja banyak yang terlalu sumir dan multi-tafsir, melainkan juga banyak esensi subjek dan objek yang diatur di dalamnya seharusnya adalah merupakan porsi dari peraturan yang lebih rendah.

Sedangkan dalam PP No. 50, negeri yang seluas ini telah dibagi menjadi 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) serta 222 Kawasan Pembangunan Pariwisata Nasional (KPPN) tanpa kejelasan benang merah dan keterkaitannya satu sama lain.

Dengan nomenklatur yang sebanyak itu maka jangankan proses pembangunannya yang akan bisa diharapkan selesai pada tahun 2025 nanti, bahkan dokumen perencanaannya saja barangkali bisa dipastikan tidak akan selesai disusun, bukan?
     
Di Kementerian Pariwisata sesungguhnya masih relatif cukup tersedia para birokrat yang cerdas dan pekerja keras, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka menjadi sering "bungkam" dan "terpinggirkan" oleh dinamika  "office politicking" yang dimainkan oleh para oknum non-struktural yang menjual nama menteri atau memang menjadi penyambung lidah menteri.

Ada pun di tingkat daerah, para Kepala Dinas Pariwisata provinsi/kabupaten/kota dapat dikatakan sesungguhnya sudah memiliki motivasi yang baik dalam menjalankan tupoksinya,namun demikian kinerja mereka sering tidak tuntas karena  dinamika sistem politik lokal yang syarat dengan dinamika "turn over" berupa pergantian jabatan tiba-tiba.

Semua itu menyebabkan terjadinya "policy and budgeting discountinued" yang berefek negatif serta sangat signifikan dalam banyak hal.

Keterbatasan kompetensi SDM tersebut tidak hanya berdampak negatif pada kapasitas teknis yang mereka miliki, namun juga sangat terasa pada kapasitas politik sektoral yang harus dijaga. Sebagai contoh, cobalah selidiki mengapa berbagai iklan komponen industri pariwisata kita begitu menyedihkan selama ini, berapa efektifitas iklan tersebut dan siapa saja yang diuntungkan.  
      
Coba telisik perusahan dari negara mana yang bertahun-tahun mendikte konsep dan tampilan iklan PT Garuda Indonesia, coba juga telusuri siapa saja yang menjadi penyelenggara MICE berskala internasional selama ini.

Tender terbuka adalah tidak salah, namun bagaimana mungkin kita akan menjadi diuntungkan  jika konsep dan produk promosi kita didikte oleh orang-orang negara pesaing.

Gagalnya para pengusaha lokal untuk memenangkan tender berbagai pekerjaan bernilai triliunan rupiah tersebut tentunya adalah bukan hanya karena adanya berbagai dikte dari para oknum (seperti diisukan banyak pihak), melainkan juga karena lemahnya kompetensi para pengusaha nasional.

Keterbatasan pemikiran yang mereka miliki tidak saja telah menjadikan mereka gagal membentuk kelompok kerja yang harmonis, sehingga gagal pula membetuk konsorsium untuk mendukung kebutuhan finansial, melainkan juga cenderung berkompetisi negatif satu sama lain. Bahkan, tidak sedikit pula diantara mereka yang tidak malu untuk sekedar menjadi "calo" dalam mencari investor asing dengan cara yang merugikan kepentingan nasional.

    

            Kemaritiman dan Kepariwisataan

Kesungguhan Presiden Jokowi untuk memajukan pariwisata secara nasional dapat kita indikasikan dengan tidak jadi ditunjuknya AA Gede Ngurah Puspayoga sebagai Menteri Pariwisata (sebagaimana diisukan sebelumnya), di mana hal ini bisa dimaknai sebagai terus dilanjutkannya  proses penyelarasan dan penyeimbangan "Bali First Policy" dalam percaturan politik pembangunan pariwisata nasional.

Sedangkan perubahan nomenklatur dan posisi Kementerian Pariwisata ke dalam Kementerian Koordinator Maritim harus kita sambut gembira dan maknai sebagai pemberian wewenang yang lebih baik untuk kementerian tersebut.

Selain untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi dari berbagai potensi laut dan pesisir yang kita miliki melalui sektor pariwisata, maka dengan posisi baru tersebut hendaknya juga bisa dijadikan sebagai suatu kesempatan emas untuk merubah posisi "jenderal detasemen markas" menjadi "jenderal teritorial".

Hal tersebut tentunya membutuhkan penyelarasan dan penyempurnaan konsep-konsep dan strategi pembangunan. Jika selama ini hanya berorientasi pada penciptaan manfaat dan nilai tambah ekonomi yang bisa ditimbulkan, maka sekarang kementerian tersebut harus didorong dan dibantu  untuk mempunyai kewenangan dan kemampuan guna secara langsungbisa bertindak sebagai "leading exsecutor" dalam proses pembangunan suatu wilayah secara utuh, mulai dari alamnya hingga manusianya secara bersamaan dan seimbang (penerapan Teori Gaia).

Jika berbagai hal yang telah didiskusikan di atas dapat diterima kebenarannya, maka pertanyaan yang timbul dan perlu kita jawab sekarang adalah: "Apakah gagasan Arief Yahya untuk menjadikan ICT (information and communication technology) sebagai pilihan manajemen strategisnya untuk  pencapaian target 20 juta turis macanegara dalam beberapa tahun mendatang adalah sudah yang terbaik?.

Apakah memang teknologi komunikasi dan informasi (ICT) yang selama ini menjadi ranah kepiawaian Arief Yahya merupakan jawaban bagi semua permasalahan dan kendala yang telah dipaparkan di atas? Barangkali jawabannya adalah "Tidak".

Perancangan dan penginstalasian sistem ICT setidaknya akan memakan waktu dua tahun, dan akan sulit sekali bisa dijelaskan objektifitas logika pengaruh ICT   akan mampu meningkatkan "actual demand" sebesar 12 juta wisatawan asing dalam tiga tahun berikutnya.

Sedangkan sejalan dengan mahalnya biaya ICT tentunya perlu pula ditentukan tolok ukur keberhasilannya secara objektif.

Tanpa penjelasan yang memadai maka tentunya menjadi tidak salah jika akan banyak yang nantinya beranggapan bahwa pilihan ICT sebagai kekuatan manajemen strategis Arief Yahya tersebut hanya akan menjadikan Kementerian Pariwisata sebagai ladang untuk memperkaya pundi-pundi kelompok perusahaan-perusahaan  ICT yang dulu salah satunya pernah dipimpinnya.

Lebih lanjut, sadar akan posisi negara kita yang bukan termasuk negara kontinental, maka barangkali kriteria "jumlah pengunjung" (number of visitor) bukanlah pilihan yang tepat untuk menjadi target dan sasaran pembangunan pariwisata kita dalam lima tahun mendatang.

Dengan berbagai kondisi yang ada saat ini, maka barangkali kita lebih membutuhkan "loyalitas pengunjung" (visitor loyality), yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan "jumlah kunjungan" (number of visit), "lama tinggal" (length of stay) dan "pengeluaran total" (total expenditure).

Dalam lima tahun ke depan, barangkali lebih baik kita tetap memiliki 7-8 juta pengunjung yang loyal, dengan lama tinggal yang lebih panjang dari 9 hari (katakanlah menjadi 14 hari sebagai target baru) dan dengan pengeluaran yang meningkat menjadi 200-an dolar AS/hari, ketimbang memiliki 20  juta pengunjung yang berpotensi kecewa karena kondisi infrastruktur serta fasilitas destinasi yang ada saat ini menjadikan tidak terpenuhinya motivasi dan ekspektasi mereka dalam berkunjung.

Lagi pula, eksistensi potensi pariwisata Indonesia sesungguhnya sudah lama mendunia serta sudah puluhan tahun pula mampu bersaing dan bertahan,  sehingga hal yang kita butuhkan sesungguhnya barangkali  bukanlah ICT.

Dalam "modern marketing",  ICT memang umumnya dijadikan sebagai "tools" yang handal untuk mendukung proses "penetrasi pasar" (market penetration). Namun demikian barangkali perlu kita sadari dan sepakati bersama bahwa permasalah mendasar kita adalah pembenahan dan pembangunan destinasi serta pemenuhan infrastruktur dan fasilitas dasar.

Selain berbagai masalah dan kendala yang telah didiskusikan di atas, maka salah satu masalah utama yang pasti juga akan dihadapi Arief Yahya dalam memacu proses pembangunan pariwisata nasional adalah keterbatasan jatah dana pembangunan untuk kementerian yang dipimpinnya.

Atas hal itu, sebagai opsi sumber dana maka barangkali tidak akan terlalu salah kalau melalui tulisan ini kita cuatkan dan diskusikan isu rendahnya efisiensi dan efektifitas penggunaan dana CSR (tanggung jawa sosial perusahaan) yang berjumlah  triliun rupiah setiap tahun di negara kita ini.

Jika selama ini efisiensi dan efektifitas dana-dana CSR di negeri ini  telah diisukan dan dikeluhkan banyak pihak adalah sangat rendah dan sangat tidak transparan serta cenderung menjadi ATM dan "mbancak-an" (rebutan)  oknum politikus dan/atau LSM  tertentu serta bahkan juga disalah gunakan oleh perusahaanitu sendiri, maka barangkali kini lah saatnya untuk kita mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar dilakukan pemusatan penggunaan dana CSR untuk pembangunan pariwisata nasional dalam lima tahun ke depan.

Jumlah dana yang tersedia sangat banyak, birokrasi penggunaannya tidak terlalu kompleks, tinggal strategi dan integritas implementasinya serta "political will" dari Presiden Jokowi saja yang menjadi kunci keberhasilannya.

Jika dalam lima tahun ke depan Arief Yahya bisa memanfaatkan dana CSR untuk membangun masing-masing satu destinasi bertaraf internasional di Indonesia Bagian Timur dan Sumatera maka tentunya namanya akan menjadi sangat dihormati dalam kancah pariwisata nasional.

Kawasan Danau Sentani barangkali sudah sangat siap untuk menerima sentuhan "tangan dingin" Arief Yahya, sedangkan Minangkabau sebagai satu-satunya  sisa wilayah matrilineal di Indonesia juga sangat patut dan siap untuk dijadikan sebagai destinasi bertaraf internasional oleh "tangan dingin" Arief Yahya.

Mudah-mudahan Arief Yahya juga sepakat atas berbagai diskursus di atas, serta bisa pula meyakinkan Presiden Jokowi untuk berkenan menetapkan kebijakannya. Mari kita bantu dan doakan bersama.  



*Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo).

    
(A035)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024