Menyosialisasikan mitigasi bencana dan teknologi kegunungapian

id gunung api

Menyosialisasikan mitigasi bencana dan teknologi kegunungapian

ilustrasi (Foto antarasulut.com)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Bagaimana masyarakat bisa hidup berdampingan dengan gunung api, dan paham mengenai mitigasi bencana, masih menjadi "pekerjaan besar" para pemangku kepentingan atau pihak yang berwenang.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta Subandriyo mengatakan pengetahuan terkait mitigasi bencana yang ditimbulkan oleh gunung api sangat penting dikenalkan kepada masyarakat, termasuk pada lingkup pendidikan.

"Memahami karakter gunung api, termasuk Gunung Merapi melalui pembelajaran bersama dengan beragam elemen masyarakat, penting dilakukan secara rutin," ujar Subandriyo.

Untuk itu, BPPTKG menggelar "Volcano Edu 2014", yakni pameran sains teknologi kegunungapian dan "open house" di Yogyakarta, 7-18 September.

Subandriyo mengatakan saat Gunung Merapi tenang, sosialisasi mengenai mitigasi dan teknologi kegunungapian bisa dilakukan melalui Volcano Edu. "Pameran Volcano Edu ini selalu mengangkat tema yang berbeda-beda setiap dua tahun sekali digelar," paparnya.

Menurut dia, pada 2010 saat hendak digelar pameran serupa, Gunung Merapi statusnya meningkat, dan butuh perhatian. "Dulu dilaksanakan Oktober, menjelang pameran malah ada erupsi 2010. Nah, kali ini dengan kondisi Merapi yang tenang, kami lakukan edukasi soal mitigasi bencana. Sekaligus membuka BPPTKG untuk semua yang ingin tahu lebih dekat tentang kegunungapian, dan mitigasi bencana," ucapnya.

Volcano Edu 2014 semula hanya akan berlangsung hingga 14 September. Tetapi kemudian diperpanjang hingga 18 September, karena antusias masyarakat umum maupun kalangan pelajar serta mahasiswa untuk melihat pameran ini cukup tinggi.

Koordinator Volcano Edu 2014 Hanik Humaida mengatakan kegiatan ini diperpanjang hingga 18 September untuk memenuhi rasa ingin tahu publik dan memberikan kesempatan edukasi tentang kegunungapian serta mitigasi bencana geologi.

Menurut dia, sejak pameran dibuka pada 8 September lalu, Volcano Edu selalu dipadati pengunjung, baik perorangan terutama kalangan siswa sekolah, maupun kelompok mahasiswa.

"Penyelenggaraan pameran pendidikan sains dan teknologi kegunungapian ini kebetulan bersamaan dengan penyelenggaraan Cities of Volcanoes yang diikuti peserta dari 48 negara," tuturnya.

Ia mengatakan sejumlah peserta dari beberapa negara juga menyempatkan melihat pengembangan teknologi terkini yang dimiliki BPPTKG Yogyakarta.

"Hingga Minggu (14/9), jumlah pengunjung mencapai 2.000 orang lebih selama tujuh hari pelaksanaan kegiatan ini. Setiap hari suasana di kantor BPPTKG di Jalan Cendana Nomor 15 Yogyakarta selalu ramai pengunjung," katanya.

Hanik mengatakan selain melihat dari dekat aneka peralatan yang terkait dengan pemantauan aktivitas Gunung Merapi dan sistem mitigasi kebencanaan yang diterapkan, pengunjung juga bisa merasakan proses pengamatan dengan simulasi peralatan teknologi yang digunakan petugas pengamat gunungapi.

"Kami ingin publik bisa mengakses informasi mengenai gunungapi. Bagaimana kita bisa arif untuk hidup berdampingan dan paham mitigasi bencana," tukasnya.

Sementara itu, Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Wawan Irawan mengapresiasi penyelenggaraan pameran yang sangat positif ini. "Ini dalam upaya edukasi langsung ke masyarakat yang tinggal di sekitar gunung berapi agar lebih tanggap bencana," katanya.



Bencana Merapi Terlama 2010

Banjir lahar dingin pascaerupsi Gunung Merapi 2010, merupakan bencana terlama dalam sejarah gunung api di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ini.

Gunung itu meletus pada Oktober 2010, dan timbunan material vulkaniknya berupa abu, pasir, kerikil dan batu di puncak, lereng, kaki gunung hingga kawasan sekitarnya, kini menjadi sumber bencana banjir lahar dingin.

Bencana sekunder dari gunung ini yaitu banjir lahar dingin, ternyata melebihi segalanya dibandingkan dengan bencana primer berupa letusan dan awan panas.

Banjir lahar dingin Merapi selama empat bulan terakhir dirasakan warga yang menjadi korban, dan pemerintah daerah serta pemerintah pusat maupun pihak-pihak lain yang terkait, merupakan bencana yang melelahkan. Air mata, harta benda, tenaga dan pikiran terkuras sepanjang hari, dan tidak diketahui sampai kapan.

Seribu lebih rumah warga, sejumlah infrastruktur berupa jembatan, jalan, irigasi dan ratusan hektare lahan pertanian mengalami kerusakan akibat bencana alam tersebut. Bahkan ratusan rumah penduduk kemungkinan tidak bisa lagi ditempati karena tertimbun tanah, pasir dan kerikil.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta waktu itu, yang sekarang menjadi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyatakan potensi banjir lahar dingin masih akan terus terjadi, karena baru sekitar 30 persen material erupsi Merapi yang turun atau longsor menjadi lahar hujan.

"Material hasil erupsi Merapi yang masih berada di atas sekitar 70 persen. Ini masih akan terus menjadi ancaman selama musim hujan masih terjadi," tutur Kepala BPPTK Yogyakarta Subandriyo.

Menurut dia, hujan dengan intensitas kurang dari 20 milimeter per jam sudah akan mampu menghanyutkan material erupsi Merapi menjadi lahar hujan, karena kondisi material yang sudah semakin jenuh.

Material hasil erupsi Merapi 2010 diperkirakan volumenya sekitar 140 juta meter kubik. BPPTK bahkan pernah menyebutkan diperlukan tiga musim hujan, atau tiga tahun untuk "menghabiskan" sekitar 70 persen material hasil erupsi yang masih berada di atas itu.

Terkait dengan ancaman banjir lahar tersebut, BPPTK telah memasang alat pemantau pergerakan lahar hujan di 12 sungai yang berhulu di Merapi. Namun, peralatan pemantau yang menjadi bagian dari sistem peringatan dini itu, hanya sebagian kecil dari upaya penyelamatan yang bisa dilakukan.

"Masyarakat harus terus waspada, terutama warga yang tinggal di daerah hilir, karena tebing sungai di hilir biasanya sudah rendah," ujarnya.

Jarak aman sekitar 300 meter dari bibir sungai, menurut dia perlu ditaati, bahkan jika perlu harus disesuaikan dengan kondisi di masing-masing wilayah. "Membangun tanggul di kanan dan kiri bibir sungai bisa menjadi upaya jangka panjang, namun untuk keadaan darurat seperti sekarang, yang perlu dilakukan adalah memperhatikan jarak aman," katanya.

Jangkauan terjauh material kasar hasil erupsi Merapi yang hanyut sebagai lahar hujan terjadi di Kali Putih dan Kali Pabelan di wilayah Kabupaten Magelang (Jawa Tengah), dengan jangkauan material halus di kedua sungai itu telah mencapai jarak 40-50 kilometer.

Sedangkan di Kali Gendol di wilayah Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta), jangkauan material kasar mencapai daerah pertemuan antara Kali Gendol dengan Kali Opak, dengan material halus mencapai sekitar Candi Prambanan.

Oleh karena itu, BPPTK Yogyakarta masih menetapkan status "waspada" pada gunung setinggi 2.965 meter ini, dan tetap merekomendasikan kepada masyarakat untuk tidak beraktivitas di badan sungai, serta tidak melakukan pendakian.



Mitigasi Bencana Daerah Wisata

Menyosialisasikan mitigasi bencana juga perlu dilakukan terus menerus di daerah wisata. Kesadaran dan pemahaman akan pentingnya mitigasi bencana harus ditanamkan di masyarakat di daerah wisata.

Seperti yang diingatkan Direktur Magister Studi Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Sudibyakto bahwa antisipasi dan mitigasi bencana di daerah tujuan wisata perlu ditingkatkan.

"Hal itu perlu dilakukan, karena sektor pariwisata rentan terhadap persepsi publik terkait denga alasan keselamatan dan kesehatan, sehingga membutuhkan strategi untuk mengurangi dampak risiko bencana yang ditimbulkan," katanya di Yogyakarta.

Pada konferensi "Pengelolaan Pariwisata di Tengah Ancaman Risiko Bencana" di Yogyakarta, Senin (15/9), ia mengatakan industri pariwisata di beberapa daerah saat ini menjadi salah satu sumber pendapatan dan penghasil devisa terutama bagi daerah yang minim sumber daya alam seperti Yogyakarta dan Bali.

Menurut dia, untuk mengurangi dampak kekhawatiran pengunjung terhadap ancaman risiko bencana, upaya melakukan penilaian risiko dan pemasangan sistem peringatan dini risiko bencana menjadi suatu keharusan.

"Hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah, masyarakat lokal, dan pelaku industri pariwisata. Hal itu jauh lebih efektif ketimbang hanya mengandalkan proses pemulihan pascabencana," tukasnya.

Ia mengatakan bencana gempa dan tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa bumi di DIY dan Jawa Tengah pada 2006 menjadi pelajaran penting bagi semua pihak tentang pentingnya manajemen penanggulangan bencana. "Keduanya menjadi bukti bahwa kita membutuhkan strategi pengurangan risiko bencana," kata Sudibyakto.

Sementara itu, dosen perencanaan wilayah dan kota University of Hawaii, Amerika Serikat, Dolores Foley mengatakan selama satu dekade terakhir sejumlah bencana memberikan dampak buruk bagi daerah yang memiliki tujuan wisata pesisir.

"Di Indonesia ada 28 wilayah yang rawan terkena gempa dan tsunami, termasuk di antaranya daerah yang menjadi favorit tujuan wisata seperti Bali, NTB, dan NTT," tuturnya.

Menurut dia, daerah yang memiliki risiko terkena bencana membutuhkan sebuah hasil penelitian dalam memberikan informasi yang tepat dalam mengantisipasi dampak bencana yang kemungkinan suatu saat bisa saja muncul.

"Komunikasi yang efektif, perencanaan, dan kemitraan antara masyarakat dan pengelola pariwisata sangat dibutuhkan," tandasnya.

(M008)
Pewarta :
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024