Aptisi: pendidikan karakter jangan hanya jargon

id aptisi: pendidikan karakter

Aptisi: pendidikan karakter jangan hanya jargon

Edy Suandi Hamid (Foto antaranews.com)

Jogja (Antara Jogja) - Pendidikan karakter untuk perbaikan bangsa ini jangan hanya sekadar jargon, kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid.

"Revolusi mental yang dikemukakan presiden terpilih Joko Widodo, yang sarat dengan pendidikan karakter, hendaknya tidak terjebak sekadar slogan seperti yang selama ini terjadi," katanya di Mojokerto, Jawa Timur, Sabtu.

Dalam orasi ilmiah Gelar Budaya dalam rangka Dies Natalis Ke-15 Universitas Islam Majapahit (Unim), ia mengatakan hal itu harus betul-betul terkonsep dan terpola dengan jelas.

"Dengan demikian, proses pendidikan karakter secara substantif terjadi dan terderivasi pada perilaku anak bangsa, yang dididik sejak PAUD hingga perguruan tinggi tentang karakter tersebut," katanya.

Ia mengatakan proses pendidikan karakter juga dilakukan oleh pendidik yang benar-benar mencontohkan ajarannya dalam perilaku keseharian.

Jadi, tidak bisa mengajarkan nilai-nilai disiplin kalau guru atau dosennya tidak menghargai waktu, mengajar dengan waktu yang "ngaret", hadir dalam pertemuan atau rapat selalu terlambat.

Selain itu juga tidak mungkin mengajarkan karakter toleransi kalau pendidiknya tidak menghargai dan menerima adanya perbedaan pendapat, mau menang sendiri, sukuisme, dan egoistis.

Oleh karena itu, kata dia, perlu peninjauan materi dan proses pendidikan karakter yang ada sekarang.

"Penguatan pendidikan karakter seyogianya dapat menjadi `kontrak politik` antara Joko Widodo selaku presiden baru nanti dengan menteri yang menangani pendidikan-kebudayaan dan agama," katanya.

Menurut dia, konflik antarsuku atau kelompok masyarakat yang sering terjadi atau perilaku koruptif, misalnya, menunjukkan adanya persoalan terkait karakter kebangsaan, nasionalisme atau rasa cinta Tanah Air, dan karakter kejujuran.

"Tentu ada masalah dalam pembangunan karakter manakala masyarakat masih memberi tempat terhormat kepada koruptor atau pihak yang menyerukan perang kepada sesama warga," kata mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.

Ia mengatakan pendidikan karakter juga bisa tergerus kalau komodifikasi pendidikan berlanjut karena pengelola sekolah atau kampus sangat mengedepankan aspek komersial.

Pendidikan terdistorsi menjadi hanya sekadar pengajaran, mentransfer ilmu pengetahuan sebatas kompetensi keilmuan, dan menyiapkan anak didik agar bisa masuk ke jenjang pendidikan lebih baik atau mudah bersaing di dunia kerja.

"Untuk itu orang tua harus membayar mahal. Hal itu menunjukkan pendidikan pun menjauh dari prinsip nirlaba dan lebih mendekat pada komoditas," katanya.

Menurut dia, membangun kehidupan sekolah dan kampus yang berkarakter merupakan keniscayaan jika ingin menjadikan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terhormat, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. "Selain itu juga terbuka untuk berinteraksi dengan bangsa lain tanpa menggerus budaya lokal yang positif," kata Edy.

(B015)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024