Merayakan kemenangan yang istimewa

id Lebaran

Merayakan kemenangan yang istimewa

Ilustrasi (Foto dikma.info)

Ada yang agak istimewa di momentum Idul Fitri 1435 Hijriah ini, yakni perayaan kemenangan setelah sukses menahan haus-lapar dan hawa nafsu selama ibadah puasa di Bulan Ramadhan.

Aroma istimewa itu adalah koinsiden atau kebertepatan momentum antara Idul Fitri dan usainya kompetisi Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 yang selama sebulan ditandai dengan kampanye saling serang dan saling adu argumen.

Bagi masing-masing kubu capres, momentum Idul Fitri adalah waktu yang pas untuk saling memaafkan, berhalalbihalan untuk merekatkan kembali setelah terjadi gesekan kata-kata selama sebulan kampanye.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin yang juga Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajak semua komponen bangsa untuk bersatu kembali dan bekerja sama guna kemajuan bersama.

Sementara itu Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Komaruddin Hidayat mengajak rakyat Indonesia, khususnya umat Muslim, untuk kembali mengubur egonya dalam membangun kembali keindonesiaan yang multiagama, ras dan golongan.

Seruan-seruan kedua tokoh itu sangat dibutuhkan karena sebelumnya,  selama sebulan kampanye Pilpres 2014, telah terjadi aksi kampanye yang saling menyinggung perasaan bahkan melukai hati  masing-masing kubu pendukung capres-cawpres.

Seruan untuk saling bersatu dan memaafkan juga menjadi sangat bermakna karena meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan pemenang dalam Pilpres 2014, namun kubu yang kalah telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hanya dengan semangat bersatu dan saling memaafkan maka apa yang akan diputuskan oleh MK diharapkan akan menjadi peristiwa penting yang tak disertai oleh badai kekerasan akibat tiadanya kerelaan bagi yang diputuskan oleh MK sebagai kubu yang kalah.

Jadi saat Idul Fitri kali ini harus dijadikan momentum memperbaiki ketegangan dan keretakan akibat  peristiwa politik.  Komaruddin berkeyakinan bahwa momen pengumuman pemenang Pilpres oleh KPU dan momentum Ramadhan kali ini tak lepas dari campur tangan Tuhan.        

Setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa dalam bulan Ramadhan, umat Islam akhirnya merayakan kemenangan pada hari raya Idul  Fitri dengan cara mereka masing-masing.

Yang jelas, ritual saling memaafkan yang sering dikemas dalam istilah halalbihalal menjadi tonggak utama dalam merayakan kemenangan di momentum 1 Syawal  dalam almanak Islam.

Di Indonesia, Idul Fitri merupakan peristiwa keagamaan sekaligus kultural yang sudah mendarah daging di kalangan kaum Muslimin dan Muslimat.

Sehabis melaksanakan shalat Ied entah di masjid atau di lapangan terbuka, kaum Muslim saling bersilahturahim ke orang tua, sanak saudara dan kerabat.

Ada  juga umat Islam yang setelah shalat Ied, langsung  menyantap ketupat Lebaran dan lauknya, entah itu opor ayam atau semur daging kerbau yang lezat, kemudian dilanjutkan dengan berhalalbihalal.

Bagi mereka yang tinggal di kota-kota, Idul Fitri kultural juga ditandai dengan ritual mudik ke kampung halaman. Mereka tak mempedulikan betapa mahalpun harga tiket yang harus dibeli untuk melaksanakan tradisi pulang kampung di saat Lebaran itu. Bahkan, bagi mereka yang berhemat, upaya nekat pun dilakukan dengan mudik bermoda transportasi sepeda motor.

Mereka harus menempuh perjalanan ratusan kilometer untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Inilah salah satu cara umat Islam di Indonesia merayakan kemenangan di hari yang fitri.

Sisi kultural dalam momen Idul Fitri juga semakin kuat karena yang terlibat dalam hiruk-pikuk halalbihalan dan menikmati ketupat Lebaran beserta opor ayamnya tak hanya kaum Muslim. Mereka yang nonmuslim pun juga ikut mengucapkan selamat Lebaran dan maaf lahir batin pada kolega atau tetangga Muslim.

Hari kemenangan pada 1 Syawal akhirnya menjadi momen yang multikultural dan lintas-iman. Kerukunan antarumat beragama inilah yang melahirkan citra tentang Indonesia yang dikenal sebagai negara yang guyup sesama pengiman meskipun iman bisa beraneka ragam.

Mensyukuri semua perbedaan dalam damai  pada momen Idul Fitri 1435 Hijriah ini bisa dengan merayakannya sesuai tradisi  masing-masing.

Yang menarik ada beragam cara umat merayakan kemenangan pada hari raya Idul Fitri ini. Yang memiliki uang berlebih mendermakan sebagian harta pada mereka yang kurang beruntung. Tentu cara ini merupakan bagian dari ajaran agama. Tapi ada juga yang mengalokasikan uang berlebih itu untuk menyalakan kembang api di malam takbir.

Haji Romli (55), pria asli Betawi di Kampung Rawa Bogo Bekasi, tak tanggung-tanggung menghabiskan sebagian uangnya,  tak kurang dari lima ratus ribu rupiah, untuk menghibur anak-anak dengan menyalakan bunga api warna-warni.

Kegembiraan merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa menahan diri dari semua godaan setan itu, menurut dia, sudah bertahun-tahun dia lakukan dengan menyalakan bunga api di malam takbir.

"Anak-anak bersorak setiap api warna-warni kemilau itu membuncah di ketinggian," katanya.

Di media sosial juga banyak ungkapan kegembiraan yang ditorehkan dalam bentuk saling tukar kabar setelah puasa terlaksana.

Seorang penyair Zen Hae tak henti-hentinya berkicau dalam twitternya. Dia sudah melupakan gegap gempita politik dan saat Lebaran tiba dia menenggelamkan diri ke dalam daging kerbau, rumbu, rempah dan ketupat.

Tentu ada yang lebih penting lagi yang perlu dilakukan oleh umat yang merayakan hari kemenangan istimewa ini: ikhtiar yang sintas dalam menahan diri meskipun Ramadhan telah lewat.

Bagi yang menjadi pejabat publik: kesadaran untuk terus menahan diri dari godaan menggunakan harta negara alias uang untuk rakyat perlu dihidupkan secara berkesinambungan. Hanya dengan demikianlah, ibadah selama sebulan punya makna yang esensial.

(M020)