LSM: hutan kemasyarakatan kebijakan kurang diurus

id lsm: hutan kemasyarakatan

LSM: hutan kemasyarakatan kebijakan kurang diurus

Ilustrasi (Foto jogja.antaranews.com)

Bogor (Antara Jogja) - Direktur Eksekutif Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) Nusa Tenggara Barat Rahmad Sabani menilai hutan kemasyarakatan merupakan kebijakan kehutanan yang kurang diurus serius.

"Hutan kemasyarakatan (HKM) lebih tampak sebagai kebijakan populis saja," katanya di IPB International Convention Center (IICC) Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa.

Di sela-sela semiloka bertema "Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah Dalam Percepatan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat", yang diselenggarakan Kementerian Kehutanan, FKKM dan Kemitraan, itu melihat bahwa sisi ketidakseriusan mengurus kebijakan seperti HKM itu adalah soal alokasi anggaran. "Seringkali dalam setiap pembahasan mengenai HKM ini hanya persoalan izin-izin saja dari Kemenhut," kata dosen Universitas Mataram (Unram) yang mengawal 15 tahun terakhir HKm di hutan Sesaot, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat itu.

Ia memberi contoh bahwa HKM di Sesaot dari alokasi seluas 3.857 hektare, seluas 185 hektare sudah mendapat izin HKM.

Namun, seluas 3.672 hektare di hutan Sesaot yang dalam proses pengajuan juga belum beranjak bertambah dari 185 hektare.

Menurut dia, target-target capaian izin pemanfaatan dalam HKM atau pun hutan desa kontraknya lebih pada posisi Kementerian Kehutanan dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Artinya, dalam konteks semacam itu maka jika menurut UKP4 target tidak tercapai maka akan berpengaruh pada pengurangan anggaran kementerian. "Sehingga kemudian terkesan memang bukan sebuah keberpihakan pada HKM-nya atau hutan desa-nya," katanya.

Padahal, kata dia, dalam konteks Sesaot, selama ini sudah menjadi pionir dalam mengejawantahkan kebijakan HKM, yang sudah terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan petani hutan, menjadi sasaran kunjungan lembaga dunia/internasional untuk rujukan.

Karena itu, Rahmat Sabani menyarankan perlunya sebuah komitmen serius, baik pemerintah pusat dan daerah, sehingga kebijakan HKM, hutan desa dan semacamnya, sehingga skema yang diinginkan yakni terjaganya lingkungan, upaya meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi orang miskin dapat terwujud dengan baik.

Sementara itu, dalam semiloka Direktur Bina Perhutanan Sosial Kemenhut Wiratno memaparkan tema "Waktunya Rakyat Terlibat Mengurus Hutan".

Di Indonesia, kata dia, dorongan dikeluarkannya kebijakan pembangunan kehutanan yang memberikan manfaat bagi masyarakat dicetuskan pertama kali dalam Kongres Kehutanan VIII di Yogyakarta pada 1978, yang mencanangkan tema besar "Forest for People".

Namun demikian, kata dia, kebijakan pemberian akses kelola hutan untuk masyarakat tuna lahan, kelompok miskin dengan lahan marjinal dengan gerakan "social forestry" (perhutanan sosial) baru dimulai gerakan pemikirannya pada awal 1980.

Kemudian, lahir UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang ditindaklanjuti dengan PP No.6 tahun 2007, yang mengamanatkan secara nyata pemberian akses masyarakat untuk turut serta mengelola hutan guna mendapatkan manfaat secara langsung.

Pada 2007 Menhut menerbitkan keputusan yang sangat strategis tentang HKM dan 2008 tentang hutan desa. Pemberian akses kelola HKM dan hutan desa diberikan dalam jangka waktu 25 tahun.

Bahkan, kata dia, kebijakan pembangunan hutan tanaman rakyat (HTR) diberikan dalam jangka waktu 60 tahun. "Dengan jangka waktu yang relatif panjang ini diharapkan jaminan bagi pemegang hak untuk dapat memanen hasil kayunya mendapat kepastian," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Kemitraan Wicaksono Sarosa menyatakan bahwa hutan pada dasarnya menjadi penopang penghidupan jutaan masyarakat Indonesia.

Ia mengemukakan bahwa data hasil survei Kemenhut dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terdapat 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06 persen dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.

Untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalam/sekitar hutan, katanya, Kemenhut telah mencanangkan program pemberdayaan masyarakat melalui pemberian hak pengelolaan hutan dalam bentuk (HKM) dan hutan desa dengan target pencapaian 500.000 hektare per tahun, atau seluas 2,5 juta hektare untuk periode 2009-2014.

Hingga Juni 2014, kata dia, jumlah areal kerja HKM yang telah ditetapkan mencapai 323.792,26 ha atau 16,18 persen dari target dan hutan desa seluas 279.731 ha atau 55,95 persen dari target.

Dari jumlah tersebut yang telah mendapatkan izin usaha pemanfaatan HKm (IUPHKm) dari bupati baru mencapai 80.834 ha atau 26,2 persen dari luas yang telah ditetapkan dan hak pengelolaan hutan desa (HPHD) oleh gubernur baru mencapai 67.737 ha atau 24,2 persen dari areal hutan desa yang ditetapkan .

Ia menyatakan bahwa masih rendahnya capaian ini antara lain dikarenakan alokasi anggaran untuk mendorong PHBM baik di Kemenhut maupun pemerintah daerah yang belum memadai dan masih lemahnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah.

Untuk itu, pihaknya bekerja sama dan memberikan dukungan kepada mitra-mitra untuk mendorong percepatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, antara lain dengan Direktorat BPS Kemenhut, Working Group Pemberdayaan (WGP), LSM yang bekerja sama secara langsung dengan Pemda dan kelompok-kelompok masyarakat.

Semiloka tersebut, kata dia, diharapkan akan dapat menjadi wahana diskusi bagi parapihak untuk membahas dan mencari solusi permasalahan terkini yang dihadapi, terutama masalah-masalah di tingkat lapangan yang dihadapi pemerintah daerah.

(A035)
Pewarta :
Editor: Masduki Attamami
COPYRIGHT © ANTARA 2024