PPP berkoalisi atau "berkelahi"

id PPP

PPP berkoalisi atau "berkelahi"

Partai Persatuan Pembangunan (Foto www.ppp.or.id)

Yogyakarta (Antara Jogja) - Partai Persatuan Pembangunan sedang dirundung konflik internal,sehingga partai besar dengan "jam terbang" sembilan kali ikut pemilu ini, tampaknya harus pandai-pandai mengelola emosi di jajaran pengurus partai dan massa anggotanya.

Sebab, jangan sampai partai yang dideklarasikan pada 5 Januari 1973 ini kehabisan energi, dan kehilangan kesempatan serta peluang untuk berkoalisi dengan parpol lain menyongsong pemilihan presiden 2014 hanya gara-gara "berkelahi" yang tak kunjung reda di internal partai.

Mendinginkan kepala untuk berpikir jernih, itu solusinya. Bukan mengedepankan emosi dengan selalu reaktif yang berlebihan.

Otoriter pimpinan dan kebiasaan parpol bertindak "pecat-memecat" dalam menyikapi persoalan besar tampaknya sedang dialami partai ini. Jika tidak segera diselesaikan melalui musyawarah yang "sejuk" tanpa menyimpang dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD dan ART) organisasi, maka dikhawatirkan konflik ini akan menyulut "api kemelut" yang semakin sulit dipadamkan, apalagi menyelesaikan substansi masalahnya.

Ada tiga hal utama atau langkah yang harus segera dilakukan PPP, yaitu pertama, Mahkamah Partai Dewan Pimpinan Pusat turun tangan.

Mahkamah Partai DPP merupakan institusi yang terdiri atas tokoh-tokoh PPP yang bekerja secara kolektif, bertugas dan berwenang menyelesaikan perselisihan kepengurusan internal PPP. Anggota Mahkamah Partai sembilan orang, terdiri atas satu orang ketua, satu orang wakil ketua, dan tujuh anggota.

Mahkamah Partai DPP bertugas dan berwenang memutus perkara perselisihan kepengurusan internal PPP, memutus perkara pemecatan dan pemberhentian anggota PPP, memutus perkara dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Dewan Pimpinan, dan memutus perkara dugaan penyalahgunaan keuangan.

Putusan Mahkamah Partai DPP harus berdasarkan pada AD dan ART, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Putusan Mahkamah ini bersifat final, dan mengikat.

Kemudian langkah kedua, Mahkamah Partai DPP bersama pihak-pihak yang berkonflik bermusyawarah untuk menyepakati substansi masalah sebenarnya yang harus diselesaikan.

Masalah yang substansial itu yang semestinya harus secepatnya diselesaikan, bukan melebar dan mengkait-kaitkan dengan masalah lain yang tidak substansial, dan hanya menambah ruwet kemelut ini.

Selanjutnya langkah ketiga, substansi persoalan sebenarnya yang telah disepakati itu yang kemudian diselesaikan oleh Mahkamah Partai DPP PPP.

Mahkamah Partai DPP harus objektif, dan bekerja cepat dalam menyelesaikan persoalan ini. Mengingat, pemilu presiden tinggal dua setengah bulan lagi, maka harus cermat dan cepat menyelesaikan konflik internal ini. PPP harus kembali "utuh" dan solid. Jangan sampai ketinggalan "kereta koalisi" dalam menyongsong pemilu presiden, hanya gara-gara mempertahankan ego masing-masing pihak yang berkonflik.



Merunut pemicu konflik

Jika merunut pemicu konflik, awalnya karena kahadiran Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali pada kampanye Partai Gerindra di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta pada 23 Maret.

Kemudian muncul reaksi di kalangan petinggi DPP partai ini. Mereka tidak hanya mengritisi ketua umum, tetapi mulai "mengancam" untuk meminta klarifikasi, bahkan menurut mereka, DPP akan memberikan sanksi kepada Suryadharma Ali.

Tindakan Suryadharma Ali yang hadir pada kampanye Gerindra itu dinilai melanggar ketentuan organisasi, etika politik, dan sangat menyakiti hati kader PPP, karena manuver politik tersebut tanpa koordinasi dengan DPP dan DPW.

Meski Suryadharma Ali beralasan bahwa kehadirannya pada kampanye Gerindra itu hanya silaturahim politik, namun sejumlah petinggi PPP menilai ketua umum telah bersikap dan bertindak yang merugikan partai.

Bahkan ada yang menilai rendahnya perolehan suara PPP pada pemilu legislatif 9 April lalu antara lain akibat banyaknya suara dari warga pendukung partai ini berpindah ke Gerindra.

Tindakan Suryadharma Ali menyebabkan target perolehan suara pada pemilu legslatif sebesar 12 persen tidak tercapai, karena hasil "quick count" (hitung cepat) berbagai lembaga survei menyebutkan perolehan suara PPP hanya 7,1 persen.

Suryadharma Ali juga dianggap mengingkari Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PPP di Bandung, 27 Februari 2014.

Mukernas tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi nama capres yang akan didukung, yakni capres internal Suryadharma Ali, dan capres eksternal adalah Jokowi, Khofifah Indar Parawansa, Israan Noor, Jusuf Kalla, Din Syamsudin, dan Jimly Ashidiqie. Tidak ada nama Prabowo dalam hasil Mukernas II.

Waktu itu juga diputuskan bahwa untuk koalisi dengan partai lain terkait pilpres, akan dibahas setelah pemilu legislatif melalui mukernas lagi.

Perkembangan selanjutnya, Suryadharma Ali mengeluarkan surat pemecatan Wakil Ketua Umum Suharso Monoarfa, dan empat Ketua DPW, karena mereka dianggap melanggar AD/ART yaitu pemakzulan terhadap ketua umum.

Kemudian adanya pernyataan Wakil Sekjen PPP Saifullah Tamlicha yang menyebutkan Sekjen M. Romahurmuziy diganti melalui rapat pengurus harian DPP, menambah panas konflik internal partai ini.

Pernyataan itu langsung dibantah Sekjen, dengan mengatakan tidak ada pergantian Sekjen, dan juga ditegaskan tidak ada pemecatan fungsionaris DPP PPP.

Perkembangan selanjutnya, Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali menyatakan semua pengurus DPP sepakat untuk berkoalisi dengan Partai Gerindra.

Menurut dia, koalisi sudah semakin mengkristal. PPP tidak lagi memiliki kendala dalam berkoalisi dengan Gerindra, meskipun sempat terjadi kisruh di internal PPP.

Namun, kata Suryadharma Ali, hingga kini belum ada perjanjian politik yang dibuat untuk menyukseskan koalisi.

Ia mengatakan belum ada perjanjian politik. Ini untuk kepentingan bangsa. Bersatu dulu. PPP dan Gerindra punya visi dan misi yang sama untuk memperjuangkan bangsa ini, dan tidak ada politik transaksi.

Suryadharma Ali juga mengaku belum membahas siapa yang akan mendampingi Prabowo sebagai calon wakil presiden. Dia juga enggan berandai-andai apabila Prabowo memintanya sebagai cawapres.



Puncak konflik

Puncak konflik di internal PPP saat ini adalah keputusan Rapimnas I PPP yang digelar kubu Sekjen M Romahurmuziy yang memberhentikan sementara Suryadharma Ali dari jabatan Ketua Umum DPP PPP.

Sekjen mengatakan Rapimnas I PPP dengan tetap berpegang teguh pada AD/ART, mengoreksi sanksi yang diputuskan rapat pengurus harian PPP pada 18 April 2014 dari yang semula `peringatan pertama` menjadi pemberhentian sementara kepada Suryadharma Ali dari jabatannya selaku ketua umum PPP.

Rapimnas yang digelar sejak Sabtu (19/4) malam hingga Minggu dinihari itu, juga menetapkan Wakil Ketua Umum DPP PPP Emron Pangkapi menjadi Pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum DPP PPP.

Rapimnas ini memberikan mandat kepada Emron untuk menyelenggarakan Mukernas III pada 23 April 2014.

Apabila ada yang berpendapat bahwa pecat-memecat di tengah konflik PPP tidak mempengaruhi proses pemilihan presiden yang akan didukung partai ini, tampaknya belum tentu seperti itu.

Meski pendapat tersebut alasannya proses pilpres berbeda dengan pemilu legislatif karena yang dipandang bukan partai, melainkan siapa tokoh atau figur yang diusung, kemungkinannya berdampak serius terhadap keutuhan partai. Artinya, perpecahan di tubuh PPP mempengaruhi kesolidan di jajaran pusat, wilayah, cabang sampai bawah.

Pengaruhnya jangka pendek adalah dikhawatirkan merugikan capres dan cawapres yang akan didukung PPP nanti.

Sedangkan pengaruh jangka panjangnya, ke depan PPP rentan pecah, karena para petinggi serta jajaran elit partai telah mempertontonkan contoh berorganisasi politik yang tidak dewasa. Hanya mengedepankan ego, mendahulukan kepentingan sendiri, mudah terbawa emosi, serta melupakan semangat bermusyawarah bagi tujuan yang mulia.

Partai ini adalah partai besar, sayang kalau tidak dijaga keutuhannya. PPP pada Pemilu 1977 memperoleh 18.743.491 suara (29,29 persen), dengan perolehan 99 kursi DPR-RI, dan berada di peringkat 2. Pada Pemilu 1982 mengantongi 20.871.880 suara (27,78 persen), dengan 94 kursi DPR-RI, berada di peringkat 2.

Kemudian pada 1987 memperoleh 13.701.428 suara (15,96 persen), dengan 61 kursi DPR-RI, dan berada di peringkat 2. Pada 1992 suara yang diperoleh 16.624.647 (17 persen), dengan 62 kursi DPR-RI, berada di peringkat 2.

Selanjutnya pada Pemilu 1997 memperoleh 25.340.028 suara (22,43 persen), dengan memperoleh 89 kursi DPR-RI, dan masih di peringkat 2.

Pada Pemilu 1999 partai ini mengantongi 11.329.905 suara (10,71 persen), dan memperoleh 58 kursi DPR-RI, serta berada di peringkat 3. Kemudian pada Pemilu 2004 memperoleh 9.248.764 suara (8,15 persen), dan kursi DPR-RI yang didapat 58, berada di peringkat 4.

Sedangkan pada Pemilu 2009 PPP meraih 5.533.214 suara (5,32 persen), dengan memperoleh 38 kursi DPR-RI, dan bertengger di peringkat 6.


(M008)
Pewarta :
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2024